Arti Sebenarnya Demokrasi Kata Barat

Hari ini kita sedang dihadapkan kepada pertunjukan yang aneh dan membingungkan. Aneh, sekelompok orang habis-habisan menghujat Presiden yang mereka pilih sendiri, gara-gara sang Presiden dinilai ingkar janji dan membuat UU Pilkada lolos. Membingungkan, karena sang Presiden yang diklaim memegang mandat penuh rakyat itu ternyata gampang gusar. Sekembalinya dari tugas luar negeri, ia akan segera bertemu dengan MK membicarakan UU yang sangat kontroversial ini.
Silang sengkarut UU Pilkada ini juga aneh dan membingungkan. Aneh, karena dalam konstitusi yang dianut negara ini, DPR memang berhak membuat undang-undang. Tetapi begitu menjalankan tugasnya membuat undang-undang, diprotes banyak orang. Yang membingungkan, bukankah DPR itu dipilih oleh suara terbanyak? Lalu mengapa tiba-tiba ada suara yang (dikesankan) besar dan banyak itu marah dan tidak rela terhadap keputusan wakil yang mereka pilih sendiri?
Itulah anomali demokrasi. Kalau hari ini kita merasakan kebingungan dan kejanggalan dari sistim demokrasi, hal itu karena kita belum mengenal betul apa sesungguhnya demokrasi tersebut. Yang selalu dicekokkan kepada kita, demokrasi adalah “dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.” Kita hanya dipamerkan sebuah benda yang dibungkus laksana manisan, tanpa pernah tahu apa sesungguhnya isi permen tersebut.
Berikut ini tulisan K. Mustarom, peneliti pada Lembaga Kajian Syamina. Seperti diketahui, LK Syamina beberapa waktu lalu telah merilis jurnal yang berjudul Demokrasi Sebagai Alat Hegemoni. Selamat menyimak.
***
Bicara soal demokrasi, kita perlu melihat kembali bagaimana sejarahnya. Hobson menyimpulkan, “Apa yang dianggap sebagai elemen yang menentukan dari pengalaman Athena—yaitu penggunaan kekuatan secara langsung dan penuh dengan pemaksaan oleh mayoritas yang buruk dalam sebuah pemerintahan kecil—telah melahirkan keluhan dan kekhawatiran yang mengutuk demokrasi agar tidak digunakan lagi dan dipandang tidak relevan selama beberapa abad.”
Kekhawatiran atas tirani mayoritas inilah yang membuat para pendiri AS menolak demokrasi pada saat kemerdekaan mereka tahun 1776. Mewakili pandangan dominan saat itu, Thomas Jefferson berpendapat bahwa, “Demokrasi tidak lain hanyalah aturan rimba, di mana 51% orang merampas hak 49% lainnya.”
Winston Churchill juga menilai bahwa “Demokrasi adalah sistim yang buruk, tapi ia adalah sistem terbaik di antara pilihan lain yang semuanya buruk.” Namun hegemoni Barat dan kekalahan psikologis sebagian besar masyarakat dunia kini memposisikan demokrasi sebagai sebuah produk yang sakral tak tersentuh, tak peduli betapa opresifnya kultur mereka dan betapa lalim dan sadisnya aksi-aksi mereka.
kerusuhan
Demokrasi Adalah Kekerasan
Sejak diperkenalkan, demokrasi telah menggambarkan diri sebagai solusi dari situasi chaos dan berbagai kekerasan yang dilakukan oleh tirani. Namun, menurut Denni Ross, sejak awal berdirinya demokrasi pada hakikatnya adalah kekerasan. Dalam konteks perang melawan teror, demokrasi menjadi justifikasi digunakannya sarana-sarana kekerasan.
Negara-negara yang menyatakan diri sebagai negara demokratis memberikan hak pada diri mereka sendiri untuk melakukan kekerasan atas nama perang melawan teror. Jutaan anak-anak dan nyawa tak berdosa menjadi korban di Irak, Afghanistan, dan terakhir Mesir  atas nama penegakan demokrasi. Demokrasi tidak pernah dapat berkembang tanpa mengganggu atau menyingkirkan pihak lain. Barrington Moore mengingatkan, “Demokrasi Barat mempunyai sejarah yang penuh dengan kekerasan di belakangnya.” Dengan kata lain, kekerasan sangat berkontribusi pada sejarah politik Barat.
Sayangnya, kini banyak ilmuwan Barat dan para pengikutnya yang mengesampingkan—bahkan terkadang menyangkal—sejarah kekerasan yang ada pada demokrasi. Kekerasan dan demokrasi seringkali dipamerkan sebagai dua hal yang terpisah, bahkan berlawanan. Jika kekerasan disebutkan dalam konteks demokrasi, ia seringkali dipandang lebih sebagai sebuah ancaman.
Seperti Bantal
Demokrasi hampir mendekati kematiannya, hingga akhirnya AS menggunakannya sebagai alat untuk mempertahankan hegemoninya secara global. Promosi demokrasi muncul sebagai strategi terorganisir AS pada awal tahun 1980. Ia menjadi ciri utama sikap AS di luar negeri. Demokrasi menjadi “alat yang paling layak untuk memastikan stabilitas dan kontrol sosial di Dunia Ketiga.”
Demokrasi, bersama dengan lembaga internasional seperti PBB, dan lembaga keuangan seperti IMF, adalah alat yang digunakan oleh Barat untuk mempertahankan hegemoninya. Demokrasi memiliki sifat seperti bantal: mampu meredam pukulan, untuk kemudian membuat para pemukul terlena dan justru tidur di atasnya. Mereka mengakomodir beberapa aspek dari pihak yang sebelumnya menentangnya, tentunya dalam kadar minimal untuk tidak sampai mengganggu tatanan hegemoni yang mereka kuasai.
Di saat itulah para penentang tadi secara tidak sadar merasa seolah-olah aspirasi mereka sudah diakomodir. Padahal sejatinya, rumah besar demokrasi hanya menempatkan mereka dalam ruang sempit di belakang tanpa lampu yang tidak pernah ditengok pemiliknya.
Aspek kunci dari strategi AS dalam usaha mendemokratisasi dunia adalah dengan berusaha memposisikan demokrasi sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan yang sah. Francis Fukuyama dalam “The End of History” menyebut bahwa “Universalisasi demokrasi liberal Barat merupakan bentuk final pemerintahan manusia.” Menurutnya, demokrasi adalah akhir dari sejarah umat manusia dan titik akhir dari evolusi ideologi umat manusia.
Demokrasi Adalah Paksaan
AS berusaha melakukan internalisasi terhadap komunitas lain atas interpretasi AS terhadap demokrasi, norma dan nilai-nilai, sebagai sebuah tatanan alami. Keberhasilan proses ini bisa dilihat dari fakta bahwa istilah demokrasi itu sendiri saat ini secara universal diidentifikasikan dengan Barat. Barat selama ini berusaha untuk menyebarkan slogan “kebebasan, persamaan, dan persaudaraan” sebagai ekspresi demokrasi yang ideal. Namun dalam praktiknya, persamaan yang menjadi tema utama demokrasi, sulit terealisasikan.
Mengutip pernyataan Gaetano Mosca, “Apa yang terjadi pada bentuk pemerintahan lain—dimana minoritas yang terorganisir memaksakan kehendaknya terhadap mayoritas yang tidak terorganisir—juga terjadi secara sempurna pada sistem representasi, meski penampakannya nampak tidak seperti itu.  Ketika kita mengatakan bahwa pemilih memilih wakil mereka, kita telah menggunakan bahasa yang sangat tidak tepat. Yang terjadi sebenarnya adalah sang wakil-lah yang membuat dirinya dipilih oleh para pemilih.”
Pemilu merupakan sumber utama legitimasi dalam sistem demokrasi berdasarkan norma pemerintahan Barat saat ini. Meski demikian, berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Ralph Miliband, “Aksi voting adalah bagian dari proses politik yang jauh lebih besar, yang ditandai oleh pengaruh yang tidak seimbang. Berkonsentrasi pada aksi voting saja justru membantu menyembunyikan terjadinya ketidakadilan. Ketidakadilan dalam politik demokrasi saat ini tercermin dalam peran uang dalam proses pemilu. Dalam setiap kasus, calon yang menang adalah yang memiliki dana yang lebih besar.”

images
Benarkah Rakyat yang Berdaulat?
Demokrasi menempatkan rakyat sebagai kedaulatan tertinggi.  Bagi negara demokrasi, slogan Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana rakyat bisa memerintah?
Thomas R. Dye dan Harmon Zeigler dalam The Irony of Democracy; An Uncommon Introduction to American Politicsmemberikan penjelasan bahwa “Democracy is government by the people,  but the survival of democracy rest on the shoulders of elits.” Dalam keniscayaannya demokrasi menjadi ruang bagi sekumpulan orang dengan tujuan tertentu (the elits) untuk memimpin rakyat yang semestinya memiliki kedaulatan.
Pemain sejati dalam demokrasi hanya ada di kalangan atas. Massa hanya diberi ruang untuk memilih, berteriak, bertepuk tangan, mencemooh, atau bahkan melempar batu, tapi mereka tidak pernah dijinkan untuk berpartisipasi dalam permainan. Para pemimpin yang terpilih hanya berkewajiban untuk meyakinkan masyarakat bahwa hanya merekalah yang bisa melindungi kepentingan rakyat.
Rakyat hanya dijadikan objek politik bagi pemerintah (penguasa) untuk mempertahankan hegemoni politiknya. Sebagaimana ungkapan Barchmi yang menyatakan, “Prinsip kedaulatan di tangan rakyat sebenarnya tidak pernah ada, yaitu bahwa kedaulatan rakyat dianggap selalu mewujudkan kebenaran dan keadilan.
Ide kedaulatan warga hanyalah sebatas fatamorgana. Pemahaman ini mengklaim bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat sumbernya. Dimana, setiap aspirasi yang muncul dari kehendak rakyat dianggap telah memenuhi parameter kebenaran dan keadilan. Bukan karena argumentasinya kuat, melainkan hanya karena ia muncul dari kehendak rakyat.
Jadi prinsip kedaulatan rakyat ini memberikan sifat maksum kepada rakyat. Oleh karena itu, prinsip kedaulatan  akan memberikan peluang kepada para wakilnya untuk melakukan kekuasaan absolut. Hal ini disebabkan  wakilnya yang  menjalankan roda pemerintahan memiliki kecendrungan mempertahankan power-nya dengan berbagai macam dalih guna ‘mendoktrin’ warganya.”
images (1)
Menciptakan Hukum Karet
Begitu juga dengan hasil hukum yang keluar darinya. Menurut Boogena Giyanah Stchijfska, “Hukum-hukum positif buatan manusia yang lahir dari konsensus-konsensus demokratis tidaklah bersifat tetap. Teks-teksnya tidak membolehkan atau melarang sesuatu secara mutlak, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban  individu dan tanggung jawab pribadi.
Semua itu didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan yang selalu berkembang. Padahal sudah diketahui bahwa kepentingan dan kebutuhan itu selalu berganti dan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Bukan suatu hal yang aneh dalam sejarah hukum-hukum positif buatan manusia, bahwa hukum yang terakhir  akan bertentangan dengan hukum yang pertama dalam rincian-rinciannya. Demikian pula yang dibenci dapat berubah menjadi disukai, yang dilarang dapat berubah menjadi boleh, dan yang ganjil dapat berubah menjadi wajar.”
Masih Tertipu Make Up Tebal?
Begitulah demokrasi. Sejarah gelap dan sifat cacatnya sering tertutupi oleh make-up tebal dan ilusi kecantikan yang digembar-gemborkan oleh Barat dan media pendukungnya. Bukan untuk tujuan lain, kecuali memastikan dunia masih dalam kontrol hegemoni mereka. Karena itu, meminjam istilah Aldous Huxley:
“Hanya kaum demokrat yang paling mistis—yang menganggap voting sebagai tindakan religius, dan yang merasa mendengar suara Tuhan di tubuh rakyat—yang dapat memiliki alasan untuk terus mengabadikan sebuah sistem dimana penipu, orang kaya, dan dukun dapat diberi kekuasaan oleh suara pemilih yang terdiri dari sebagian besar orang yang bermental Peter Pan, yang sifat kekanak-kanakannya membuat mereka sangat rentan terhadap bujukan dari penghasut dan sugesti tak kenal henti dari surat kabar orang-orang kaya.”
Penulis: K. Mustarom
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
 
Template By Kunci Dunia
Back To Top